wendycode wendy code

Liturgi Yang Memerdekan, Mungkinkah?


Kita semua tentu kenal atau minimal pernah dengar kata liturgi setiap kali kitamenghadiri sebuah misa di gereja atau peribadatan tertentu. Namun, tak jarang, banyak dari kita juga kurang paham apa itu sejatinya liturgi. Lalu, apakah kita juga bisa membangun sebuah liturgi yang memerdekaan mengingat liturgi itu memiliki semacam pakem yang tidak boleh sembarangan diubah oleh siapa pun.
Simak wawancara Judith Widjaya dari Warta Minggu Paroki Tomah, Maria Bunda Karmel dengan Romo H. Sridanto Aribowo Nataantaka, Pr, Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta.

Bagaimanakah liturgi yang bergerak itu?

Kata "liturgi" berasal dari bahasa Yunani leitourgia, terbentuk dari akar kata ergon yang berarti "karya", dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos yang berarti bangsa.

Awalnya liturgi adalah pelayanan umum di jemaat perdana, lalu bertumbuh berkembang hingga sekarang. Seiring perkembangannya itu, liturgi berarti perayaan, tapi semata-mata tidak hanya ibadat saja melainkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perayaan Ekaristi, kita semua diutus.

Apa yang sudah kita dapatkan benar benar harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang namanya liturgi dan perlu kita lanjutkan apa yang sudah kita dapatkan, tidak hanya  berpaku di ritus saja. Seperti di perayaan Ekaristi, kita mendapatkan sabda, komuni, dan sebagainya. Hendaknya kita berbagi dan menjadi berkat bagi orang lain.

Apakah liturgi yang memerdekakan itu?

Liturgi yang memerdekakan bukan liturgi yang bebas, tidak ada aturan. Merdeka artinya ada dua. Pertama, ada unsur tanggung jawab. Bisa menanggapi rahmat Tuhan dengan sesuatu yang bisa
dibagikan kepada sesama.
Tidak hanya melulu mengasihi Tuhan tapi juga mengasihi sesama. Kedua, relasi yang dalam dengan Tuhan karena pada dasarnya liturgi mau mengedepankan relasi dengan Tuhan yang baik. Misal, datang ke misa tidak terlambat. Maka merdeka berarti semakin dalam, semakin merdeka, semakin berelasi dengan baik.

Apakah praktik liturgi di KAJ sudah memerdekakan?

Menurut saya, liturgi di KAJ belum merdeka. Saat saya keliling ke dekanat atau paroki, pertanyaan pertama yang muncul adalah boleh atau tidak, dilarang atau tidak, halal atau tidak. Ini pertanyaan yang mengandaikan tidak ada kemandirian maupun tidak bertanggung jawab. Jadi, tidak ada keyakinan yang disepakati bersama. Beda dengan orang yang merdeka, Romo sama memilih ini karena ini dengan pertanggungjawaban seperti ini.

Apakah di paroki sudah menerapkan liturgi yang adil?

Di KAJ ada 66 paroki, ada gerejanya yang sudah lengkap dengan atributdan segala perlengkapannya, sehingga untuk melakukan liturgi perayaan ideal yang mudah dicapai sebagai sebuah perayaan.

Di Tahun Kerahiman Allah, ada sepuluh gereja yang masih berjuang, yang masih berdoa dengan tenda, yang belum terlihat, dan lain-lain dengan kondisi yang tidak ideal. Ini yang kelihatan. Yang belum kelihatan masih banyak lagi. Pertanyaannya bukan lagi iya atau tidak, tapi berusaha mampu mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan dengan communion (persekutuan). Maka, kenapa lima tahun ke depan kita diharapkan bisa tercapai? Tentunya punya target-target pencapaiannya. Misal, orang semakin rajin pergi ke gereja karena liturginya menarik, liturginya mengundang masuk ke dalam suasana khidmat, bermatabat, khusuk, sederhana, juga sekaligus menarik, umat berlomba datang ke sana karena ada sesuatu yang menarik.

Sementara, para pelaku liturginya juga semakin memperbaiki diri. Misalnya, ditambahi sisi spiritualitasnya, penampilannya, kesempatannya. Misal, seorang lektor bukan hanya membaca saja atau mengandaikan hubungan dekat dengan romonya. Tapi, perlu persiapan, memiliki prosedurnya, atau ada sistem keanggotaan. Seorang yang tidak dilantik tentu tidak bisa ada dalam daftar
keanggotaan tersebut. Maka pelayan liturgi yang benar adalah direkrut, dipilih, dibekali dengan beberapa pertemuan sehingga paham apa yang dibawa, dibaca, apa yang akan disampaikan, lalu dilantik, dan akhirnya diutus.

Apakah kaum muda sudah memahami liturgi yang benar?

Ada yang paham arti liturgi. Saking pahamnya maka getol sekali, tapi mungkin persentasenya belum banyak. Sayangnya belum ada survei soal ini. Salah satu solusinya sesuai Arah Dasar KAJ adalah katekese liturgi untuk orang muda. Misal, Komisi Liturgi bekerjasama dengan Komisi Kepemudaan membuat panduan Ekaristi Kaum Muda (EKM). Orang muda masih bertanya-tanya, apa yang bisa diubah secara kreatif dan mana yang tidak bisa diubah. Hal ini perlu katekese.

Ada contoh lainnya?

Contoh lain, bekerjasama dengan Komisi Keluarga. Katekese liturgi ini ditujukan untuk pasangan. Diharapkan pasangan datang berdua sejak awal, karena sederajat dan sama-sama ciptaan Allah. Gambaran liturgisnya bahwa tidak ada yang dibedakan, semua sederajat, sama rata baik sebagai perempuan maupun laki-laki. Tak jarang, yang getol “berkatekese” di zaman sekarang adalah televise, film, maupun media sosial.

Bagaimana wujud nyata liturgi yang merdeka dan bertanggung jawab?

Intinya kita semakin dimanusiakan seluruh umat Allah dan seluruh pelakupelaku liturgi. Semakin mampu menjadi gembala yang murah yang hati, teladan, contoh, tapi juga sekaligus menjadi
manusiawi ekaristis yang peduli sesama. Setelah misa ekaristi, orang keluar parkir
langsung bunyikan klakson. Padahal sesama umat beriman dan baru saja selesai misa.

Apa susahnya untuk bersabar sebentar. Berarti liturginya masih gagal - belum memanusiakan setelah dia berliturgi. Ke gereja bertemu Tuhan dengan pakaian terbuka, rok mini, dan lainnya, lalu semua mata memandang orang tersebut. Apakah ini memanusiakan? Kalau peduli sesama, tidak menjadi bahan perhatian, seharusnya memakai pakaian pantas, layak, sopan, dan tidak menjadi perhatian banyak orang serta mengganggu kenyamanan orang lain.


BERGABUNG DI FACEBOOK KAMI